Aku menahan senyum menatap suamiku yang duduk tak jauh dariku.
Dengan masih mengenakan peci dan sarung setelah sholat subuh tadi.
Mulutnya komat-kamit menghapal surah, sesekali mengintip buku Juz ‘Amma di tangan kanannya.
Ya, imam keluarga kami terpaksa menambah hapalan Al Qur’annya setelah dikebut hapalan Al Qur’an ‘Aina, putri sulung kami.
Pernah suatu ketika, ketika suami menjadi imam sholat lupa lanjutan ayat yang dibaca.
Dengan lantang, putri sulung kami yang berada di shaf belakang menyambung ayat, lancar dan benar.
Subhanallah, aku yang hanya diam saja (karena memang belum hapal surah yang dibaca), melanjutkan sholat dengan perasaan antara takjub dan bahagia.
Jujur saja, aku tidak pandai mengaji.
Membaca Al qur’an bisa, tapi ilmu tajwidnya berserakan.
Dulu, di awal pernikahan, ketika suami ingin mengajariku mengaji, aku selalu memiliki seribu satu alasan untuk menghindar.
Barulah ketika hamil anak pertama, aku sendiri yang kemudian memutuskan mendaftar kelas mengaji.
Setelah mengerti, menjadi ibu berarti menjadi madrasah pertama bagi anak.
Aku tidak mau rugi, menyerahkan begitu saja pahala seumur hidup mengajarkan Al Fatihah pertama pada guru mengaji anak.
Aku tidak mau rugi, menyerahkan begitu saja pahala seumur hidup mengajarkan Al Fatihah pertama pada guru mengaji anak.
Dalam kondisi hamil, aku keukeuh menembus kemacetan di pagi hari.
Karena lokasi tempat belajar yang agak jauh dan bersamaan dengan waktu kerja suami, aku harus naik angkot dan berganti angkot beberapa kali.
Belum lagi begitu sampai di lokasi, harus menapaki tangga demi tangga menuju kelas di lantai dua.
Tak mengapa, mencari ilmu memang harus dengan sebuah perjuangan bukan?
Meskipun sempat vakum beberapa lama mengikuti kelas setelah melahirkan dan kesibukan menjadi ibu baru, saat ini aku sudah kembali aktif mengikuti kelas.
Tak jarang aku menghapal surah yang sama dengan anak-anak.
To be honest, anak-anak banyak membantuku dalam menghapal Al qur’an.
Memberikan motivasi, menemaniku menghapal bahkan mengoreksi jika ada kesalahan.
Banyak orang mengira, orang tua lah yang bertugas mengajar anak.
Tapi setelah bertahun-tahun menjadi seorang ibu, aku menyadari bahwa sesungguhnya kami, aku dan anak-anak, saling belajar dan mengajarkan.
Cerita di atas hanya satu contoh kecil saja.
Banyak hal lainnya, yang tanpa sadar, dipelajari orang tua dari anak-anak.
Belajar bersabar, belajar mensyukuri setiap hal walau sekecil apapun, belajar cepat memaafkan, belajar berbagi dan ikhlas, belajar menyayangi tanpa syarat, dan masih banyak lagi.
Ilmu bisa didapat dari siapa saja.
Tak payah orang tua atau anak muda, berkuasa atau rakyat biasa, ustadz atau hanya santrinya, miskin ataupun kaya.
Selama mengandung kebenaran dan kebaikan, ambil ilmunya dan praktekkan saja, untuk memperbaiki hidup dan memperoleh pahala.
Depok, May 2021
Baca juga : Ceritaku Vaksin Covid-19
Baca juga : Kumpulan Cerpen Covid-19 Ketika Lockdown
Baca juga : No Maid No Cry
Hurrayyy.. cerpen yang benar-benar pendek tapi sarat makna.
BalasHapusSemangat mbak Ika, pahala mengajar ngaji anak-anak itu masyaallah walaupun saya pada akhirnya mendelegasikan pada yang lebih ahli. Dan iya betul, saat anak-anak minta dites murojaah, sayalah yang belajar dari mereka.
ahaha.. lebih banyak hapalan anak mbak, daripada hapalan saya.. maluuu..
HapusBenar Mbak, dalam hafalan surat pendek, saya justru malah belajar lagi dari anak. Ketika anak mudah menghafal dan sudah lancar, saya malah blank, lupa lagi dan kini terbalik, saya yang diajarkan anak.
BalasHapusTapi saya tidak malu. Memang kondisinya seperti itu. Jadi saya setuju dengan si artike Mbak
Sebagai ibu (pembelajar) kita tetap semangat ya....
faktor U(umur) ya mbak.. jadi hapalan susah lengket. haha.. alasan
HapusMasyaAllah, setuju dengan pesannya kalau kita bisa mengambil pelajaran dari siapa saja. Karena semuanya pasti ada hikmahnya, ada ajarannya, termasuk motivasi ngilmu
BalasHapusMasya Allah setuju mbak, sebanyak-banyaknya kalau bisa kita sebagai orang tua yg mengajarkan ya :)
BalasHapus